Jumat, 12 Oktober 2012

Dan Sebenarnya Cinta

“Kenapa dokter selalu mencari kesalahan saya? bahkan sampai hari ini.” akhirnya kata ini bisa ku lontarkan setelah begitu lama berdiam di balik lidahku. Tidak peduli lagi meski dia pemimipin di puskesmas ini. Sekarang sudah tidak berpengaruh bagiku.

“Di awal memang pernah berbuat salah, saya sudah minta maaf dan sudah saya perbaiki. Sekarang bagaimanapun karena hari ini hari terakhir, saya harus minta maaf meski tidak tau kenapa dokter semakin marah pada saya. Maaf dokter, terima kasih atas bimbingannya.” Aku mengulurkan tanganku, dia hanya diam saja. “ baiklah, sikap dokter begini terus, aku pastikan akan membuat dokter merindukanku.” Sontak membuatnya kaget. Tidak peduli aku pergi saja.


Teman-teman puskesmas begitu baik, sayang sekali harus meninggalkan mereka. Ibu Ade menangis memelukku, dia yang mengajarkanku, jangan jadi tenaga medis yang hanya bergoyang kaki dalam sarang. Benar, hanya puskesmas ini yang tampil beda sepanjang yang sudah kutemukan. Berada di desa yang kecil, tapi memiliki banyak pasien, baik itu yang sakit  maupun keadaan sehat. Dan mereka melayani masyarakat dengan ramah dan antusias. Setiap 2 kali seminggu program puskesmas berkeliling memberi Penkes, dengan cara yang unik, seperti di Taman kanak-kanak mereka memakai costum badut atau topeng dan bergaya pantomime, beraksi memperaktekkan cara menyikat gigi dengan benar. Menarik, Bukan?

Mereka mempunyai cara agar masukkan mereka di terima di masyarakat, tidak sungkan-sungkan mereka mengambil waktu libur, ikut kerja bakti membersihkan lingkungan desa. Jika ada pesta rakyat, mereka ambil andil dan mempersembahkan karya mereka yang dikombinasikan dengan penkes. Seperti Tari sakit TBC atau Drama si Aides. Tidak heran masyarakat disini sangat peduli dengan kesehatan.

Bagi mereka tiada waktu tanpa kesibukkan, karena itu sangat mengasyikan. jika tidak ada pasien, mereka belajar di ruang pustaka dan meng-up-date ilmu kesahatan yang terbaru atau demontrasi ilmu keperawatan atau kebidanan. Seperti perawatan luka yang benar dan tindakan UGD terbaru.
Ahhhfff tidak ingin meninggalkan mereka….

Tapi melihat, si dokter sentiment ini, jadi ingin pergi cepat-cepat. Kenapa ada dia di tengah keramahan yang damai?. Sama sekali tidak cocok. Bilang Rasyid dia baik, manajmen begini karena pengaruhnya. Jelas saja berpengaruh, galak sekali.

Semua  melambai tangannya, kecuali si sentiment itu entah kemana perginya. Ohh aku akan merindukan kalian…. Aku memasukkan travel bag kecilku ke dalam ambulance dan duduk di depan.
“Kak Rana… Kak Rana….” Adik-adik SD di samping puskesmas memanggilku dan berlari-lari kecil mengejar ambulance, air mataku mengalir begitu saja, lalu ku keluarkan setengah kepalaku di jendela, membalas lambaian tangan mereka.

“Cengeng juga. Jangan khawatir kapan-kapan kau boleh kembali kesini.” Ujar pak sopir, aku menoleh karena merasa aneh.

“Kenapa? Apa seperti mimpi kau mendapat ijinku?” aku  mengangguk bodoh. Bagaimana aku tidak tahu dari tadi bahwa si sentiment ini berada di sampingku? Di tersenyum kecil, senyum yang tak pernah ada untukku.

“Pak Kasim..?” aku belum selesai bertanya. Dia menyelaku. “ Beliau cuti, kau tahu kan, tidak ada yang bisa mengendarai mobil, selain saya.”

“Maaf merepotkan dokter, kalau saya tahu saya tidak akan membiarkan dokter meninggalkan puskesmas.”

“Kalau saya tidak mengantarmu, saya takut semakin rindu padamu.” Ucapnya datar, hebat sekali membuatku malu. “ ini..” dia menyerahkan amplop. “ walaupun mahasiswa magang, tapi kamu sudah bekerja keras. Ini gaji selama tiga bulan, jangan dibuka sekarang, saya khawatir kamu akan meminta tambahan pada saya. Kamu kan tahu gaji pegawai puskesmas tidak seberapa.” Sekali lagi dia tersenyum. aku berterima kasih, dan mengembalikan amplop itu padanya.

“Jangan begitu, kau akan membuat teman-teman kecewa, ini amanah dari mereka.” 

Aku turun di terminal, dia membawakan travel bagku. Baru sekarang sangat baik. Begitu senang sudah tidak melihatku lagi?. Picik juga!

Dia mengulur tangannya menyalamiku. “selamat jalan.” Lalu pergi begitu saja.

“Eeh dok…dokter!” panggilku, ingin mengucapkan terima kasih. Tapi di berlalu tidak peduli. Dasar aneh!
---
Menuju perjalan yang baru lagi, Ahhh sampai dirumah.. 

“Ibu… ayah….!!” Teriakku senang, yah tapi orang pada nggak ada, lagi dinas.

Pengin Mandi, dingin.Tapi yang sela ini, ee tempat mengapit termometer sudah asem..hehe.. kalau begitu mendarat ke kamar mandi.

Udara kampungku tercium sangat khas, dengan nyamannya aku merebah di kursi dekat jendela kamar, amplop segera ku buka. “satu juta!!!” bagaimana harus mengedipkan mata, aku sangat kaget.”Ahlmadulillah….”. 

Upsss!! Ada kertas yang jatuh. Aku memungutnya. Seperti sbuah pesan singkat.

kamu benar, karena rindu, saya tidak tahu harus bagaimana, makanya menjadi marah. Maaf.
Ran, terus terang saya ingin memintamu. Tapi jika sudah memiliki orang lain. Kata-kata saya jangan menjadi beban buatmu..
Harry

Aku menjadi bingung, bolak balik aku membaca kertas kecil itu, aku masih tak percaya. Aku sedang dilamarkah? Dr. harry, si sentiment itu? tidak, tidak, tidak…tidak mungkin. Akhfffff kenapa mesti si sentimen itu? tapi apa harus menolaknya, ini kan pertamakalinya di lamar?
Perasaan ini sangat membingungkan, senang atau tidak sih?. Ah, bicaraku sejauh ini, ke GR-an banget, kenapa tidak dipastikan dulu?

Jam 8 malam, apa tidak apa-apa? ah aku akan menghubunginya.

“halo…halo…assalamu’alaikum? halo??” dia mengangkat telponnya, aku harus bagaimana, mulai dari mana?.

“ee…” aku diam.

“Rana?” dia memanggil namaku santun. Kenapa jantungku berdegub tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi denganku.

“walaikum salam, dok.”

“ada apa, ran?” tanyanya polos, seperti bukan dia yang menulis itu. Apa memang bukan dia.

“tidak ada, maaf mengganggu.” Spontan aku matikan. Ahhhh… kenapa aku tidak sopan?
Uppsss ada panggilan balik dari dia. Diangkat tidak? Ahhhhh

“ya ,dok?” aku menguasai diri.

“terdengar berpura-pura tidak gugup.” Ujarnya lagi-lagi datar, tahu saja.”masih tak percaya saya  yang menulisnya?” tanyanya, kok dia tau semua?

“saya ingin tahu jawabanmu. Rana. Ran, kau punya laki-laki lain?”

“tidak!”

“Terlalu tangkas Ran, Apa kau sedang merindukanku atau sedang menerimaku?” tanyanya. Aku matikan ponselku, aku malu kenapa sikapku jadi begini? Hei ini si sentimen itu bukan laki-laki yang ku idamkan. Dia tidak menghubungi aku lagi, tapi aku menjadi gelisah.

Ran, kau marah? Lupakan saja.

Pesan singkat sebelum mataku jatuh terkantuk. Aku pikir apalagi, tidak ada yang ku tunggu. Selama ini yang menjadi masalah bukankah sentimennya saja? Dan ….

Wisudaku bulan depan tgl 23 oktober. Senang jika dokter bisa datang dan aku akan menjawab pertanyaan dokter.

Aku betul-betul sudah gila. Apa yang aku  lakukan? Ingin coba-coba. Hal ini bukan untuk dipermainkan.
---
Pintu auditorium sudah mau ditutup dia belum juga datang, dia hanya mempermainkanku, masih sama piciknya. Aku tidak akan memaafkanmu. 

Aku berjalan menuju parker mobil, orangtuaku sudah dari tadi menunggu. Wajahku tebal make up dan tebal kesal. Untuk apa aku kesal bukankah aku bilang ini percobaan? Kenapa aku meletakkan diri sendiri sebagai korban permainan? Baru juga mulai, memalukan. 

 2 minggu berlalu

dr.Harry, tidak perlu memikirkannya lagi, aku ingin dengan tenang ke Inggris, tidak mau menyiakan beasiswa transfer ini.

“Sarang hangdamyun….” Ost. Sad love song. Ponselku menari. Ibu ade?

“berjanji memberi kabar kalau sudah lulus dengan baik, malah ingkar. Menunggu orang tua juga yang tanya duluan.” Ujar ibu Ade kecewa. Aku minta maaf atas kelalaianku, bukan sama sekali tidak ingat Ibu Ade tapi pikiran sudah penuh dengan…

“dengan dr. Harry?” sela Bu Ade, sontak aku kaget, jadi Ibu Ade tahu?

“Apa kau terlalu polos, nak? Bahkan semua sudah lama tahu, dr. harry memperhatikanmu. Tapi, kami hanya menutup mulut dan mata, bukan urusan kami.” Sambungnya. Aku hanya diam, membenarkan kata beliau, aku sangat polos malahan.

“Nak, kau tidak banyak respon nampaknya. Ibu mengerti tidak mudah membujuk perasaan untuk orang yang tidak diinginkan. Itu hakmu. Tapi, saran Ibu sekali saja datanglah untuk dr. Harry. Kau belum pernah datang bukan?” 

“Maksud ibu?” aku belum paham, ibu Ade jadi bingung. Sangka beliau aku sudah tahu. Ibu Ade menceritakan segala hal. Aku terpekur, dulu begitu menyalahkannya. Tidak mau bertanya kenapa dia tidak datang, kemana dia selama ini?

Sekarang aku dihadapannya. Aku, karena aku memintanya datang hari itu, makanya dia harus terbaring disini. Menyelamatkan anak kecil yang hampir mati dihantam bus, dia harus membayar dengan kehilangan rasa dikakinya agar anak itu selamat? Ya Allah, dia lumpuh, apa tidak ada keringanan untuknya? Dia tersenyum kecil, hatiku begitu sakit melihatnya sakit sekali. Aku terjatuh lemah dalam tangisanku.

“Saya kelihatan sangat menyedihkan, Ran? Jangan menangis untuk orang yang sering memarahimu. Ini akibat zalim padamu.” Ujarnya setengah bercanda. pandangannya lurus, kepala tidak bisa di gerakan sesukanya, cervical collar masih menjaga dengan ketat.

“Selamat Ran, maaf tidak datang hari itu dan menemui orang tuamu. Yang pernah ku ucapkan lupakan saja.” Ucapnya ringan.

“apa dokter pikir, aku belum melupakannya?” tanyaku.

“benar, kenapa harus dipikirkan?.” Dia tersenyum lagi, membuatku bertambah benci.

“Kau tahu aku menunggumu, sampai pintu gedung itu tertutup? Kau tahu betapa berharapnya aku, kau akan datang mencariku? Sama sekali tidak ada kabar, makanya melupakanmu. Sekarang, begitu ringan mengucapkan ‘lupakan saja’. Makanya akan semakin melupakanmu.” Ucapku dengan setengah marah dan benciku. Tiba-tiba aku sadar, aku memang…..

“Baguslah, lebih baik begitu.” Ujarnya lagi sambil tersenyum. Air matanya bergulir, dengan hati-hati dia menghapusnya. Takut bergerak banyak.

“Yang baik, sembuhlah. Jangan menolak terapi itu, jadi sembuhlah.” Ujarku, ini giliranku untuk membujuknya. Ibu ade dan teman-teman sudah putus asa, begitu dengan orang tuanya, sama.

 “Sembuh, hanya sebuah kemungkinan. Jadi karena itu, kau datang hanya untuk membujukku, sungguh tidak perlu!.” Ucapnya ketus, baru kelihatan bahwa dia dalam depresi yang berat.

“Bukankah mungkin itu sebuah peluang? Lakukanlah untukku, aku akan menunggu dokter.” dia terperanjat, menatapku.

“Jika mungkin akan lama dan tidak banyak yang bisa kulakukan dengan kaki ini, tidak akan seperti dulu.  Jadi tidak usah..”

“Aku bilang aku akan menunggumu, apa dokter tidak mengerti juga? tidak inginkah dokter duduk bersimpuh membacakan ijab?” dia menatapku kembali. Aku mengangguk, lakukanlah.

Dia menyetujuinya, akupun berjanji ikut melihat perkembangannya.

“Tidak, selama terapi kau tidak boleh mengunjungiku!”. Ucapnya, aku mengernyitkan dahi. “pergilah ke Inggris.”

“Tidak! Aku tidak bisa meninggalkanmu.”

“Heii, jangan seperti orang bodoh! aku bukan suamimu. Jangan berkorban seperti itu. aku mendengarmu dan kau harus mendengarkanku.” Bentaknya.

Aku mencoba meringankan hatiku, aku anggap saja ini syarat untuk menerima mahar dari calon suamiku. Dengan begini aku bersemangat, waktu akan berjalan dengan cepat!

“Ran… Rana..!” ada yang memanggilku saat aku mendekati masuk di Green Channel. Rasyid, bukan hanya datang mengantarku, juga memberikan kotak kecil.

Aku membuka kotak kecil hitam di pesawat. Hatiku bergetar, sebuah cicin begitu manis duduk di busa putih. Ada suratnya juga.

                Seandainya aku datang hari itu, mungkin cincin ini sudah sampai pada pemiliknya.
                Pada gadis yang mungkin sedang berdebar menungguku.
                Ran, dalam keadaan seperti ini, tidak tau kapan  aku bisa memasangkan langsung dijarimu
                Jadi simpanlah olehmu. Tapi jangan merasa terikat karenanya.                     
                Bila hatimu mengatakan tidak, kau bisa mengembalikannya padaku, kapanpun kau mau.
                Kau masih sangat muda, ambillah pilihan-pililahan terbaikmu.
                Selamat jalan Ran, berbaiklah disana.
                Entah kapan akan bertemu, pasti sangat merindukanmu.
                 Harry

“Hanya kau yang kusukai.” Gumamku. “Pasti akan sangat merindukanmu.” Aku tersenyum sendiri.
               
2 Tahun berlalu, aku kembali. 
Tidak tau bagaimana kabar orang yang ku tuju, kami tidak pernah komunikasi selama aku di inggris. Aku mulai mencemaskannya.apa dia berpaling dengan yang lain?

“Ran, ibu …” lamunanku buyar, melihat kepanikan ayah menunjuk ke arah ibu yang sedang muntah- muntah, wajahnya pucat. Gastritis ibu kambuh. Aku membawanya ke rumah sakit. Utunglah sebatas di UGD. Rumah sakit ini banyak kemajuan, semakin tangkas menangani pasien. Kebiasaan duduk-duduk menggosip sudah tidak adalagi. Aku mengambil obat di basement dan menyelesaikan administrasi.

“Masih mau?” begitu terdengar dari  orang yang satu lift denganku, mungkin sedang menelpon.

“Masih mau dengan dokter lulusan S1, Ran?” Aku tersentak itu….laki-laki berkacamata, memakai jas putih, seorang dokter.

“Dokter??” aku tersenyum mendapati harry dari tadi disampingku. Bagitu bahagia tidak bisa bilang apa-apa. Ya Allah Harry sembuh.

“Aku pastikan dulu, aku isteri pertama apa bukan?” candaku. Harry tertawa lepas.

Beberapa bulan kemudian

Aku sedang hamil, tambah berat kalau Harry pulang dari kerja, pasti kepalanya menekur diatas balonku yang memasuki minggu 20. Aku sangat bahagia.

Dan Sebenarnya Cinta itu, Rasanya Begini....










Tidak ada komentar:

Posting Komentar