“Kenapa dokter selalu mencari kesalahan saya? bahkan sampai hari
ini.” akhirnya kata ini bisa ku lontarkan setelah begitu lama berdiam di balik
lidahku. Tidak peduli lagi meski dia pemimipin di puskesmas ini. Sekarang sudah
tidak berpengaruh bagiku.
“Di awal memang pernah berbuat salah, saya sudah minta maaf dan
sudah saya perbaiki. Sekarang bagaimanapun karena hari ini hari terakhir, saya harus
minta maaf meski tidak tau kenapa dokter semakin marah pada saya. Maaf dokter,
terima kasih atas bimbingannya.” Aku mengulurkan tanganku, dia hanya diam saja.
“ baiklah, sikap dokter begini terus, aku pastikan akan membuat dokter
merindukanku.” Sontak membuatnya kaget. Tidak peduli aku pergi saja.
Teman-teman puskesmas begitu baik, sayang sekali harus
meninggalkan mereka. Ibu Ade menangis memelukku, dia yang mengajarkanku, jangan
jadi tenaga medis yang hanya bergoyang kaki dalam sarang. Benar, hanya
puskesmas ini yang tampil beda sepanjang yang sudah kutemukan. Berada di desa
yang kecil, tapi memiliki banyak pasien, baik itu yang sakit maupun keadaan sehat. Dan mereka melayani
masyarakat dengan ramah dan antusias. Setiap 2 kali seminggu program puskesmas
berkeliling memberi Penkes, dengan cara yang unik, seperti di Taman kanak-kanak
mereka memakai costum badut atau topeng dan bergaya pantomime, beraksi
memperaktekkan cara menyikat gigi dengan benar. Menarik, Bukan?
Mereka mempunyai cara agar masukkan mereka di terima di
masyarakat, tidak sungkan-sungkan mereka mengambil waktu libur, ikut kerja
bakti membersihkan lingkungan desa. Jika ada pesta rakyat, mereka ambil andil
dan mempersembahkan karya mereka yang dikombinasikan dengan penkes. Seperti
Tari sakit TBC atau Drama si Aides. Tidak heran masyarakat disini sangat peduli
dengan kesehatan.
Bagi mereka tiada waktu tanpa kesibukkan, karena itu sangat
mengasyikan. jika tidak ada pasien, mereka belajar di ruang pustaka dan
meng-up-date ilmu kesahatan yang terbaru atau demontrasi ilmu keperawatan atau
kebidanan. Seperti perawatan luka yang benar dan tindakan UGD terbaru.
Ahhhfff tidak ingin meninggalkan mereka….
Tapi melihat, si dokter sentiment ini, jadi ingin pergi
cepat-cepat. Kenapa ada dia di tengah keramahan yang damai?. Sama sekali tidak
cocok. Bilang Rasyid dia baik, manajmen begini karena pengaruhnya. Jelas saja
berpengaruh, galak sekali.
Semua melambai tangannya,
kecuali si sentiment itu entah kemana perginya. Ohh aku akan merindukan
kalian…. Aku memasukkan travel bag kecilku ke dalam ambulance dan duduk di
depan.
“Kak Rana… Kak Rana….” Adik-adik SD di samping puskesmas
memanggilku dan berlari-lari kecil mengejar ambulance, air mataku mengalir
begitu saja, lalu ku keluarkan setengah kepalaku di jendela, membalas lambaian
tangan mereka.
“Cengeng juga. Jangan khawatir kapan-kapan kau boleh kembali
kesini.” Ujar pak sopir, aku menoleh karena merasa aneh.
“Kenapa? Apa seperti mimpi kau mendapat ijinku?” aku mengangguk bodoh. Bagaimana aku tidak tahu
dari tadi bahwa si sentiment ini berada di sampingku? Di tersenyum kecil,
senyum yang tak pernah ada untukku.
“Pak Kasim..?” aku belum selesai bertanya. Dia menyelaku. “ Beliau
cuti, kau tahu kan, tidak ada yang bisa mengendarai mobil, selain saya.”
“Maaf merepotkan dokter, kalau saya tahu saya tidak akan
membiarkan dokter meninggalkan puskesmas.”
“Kalau saya tidak mengantarmu, saya takut semakin rindu padamu.”
Ucapnya datar, hebat sekali membuatku malu. “ ini..” dia menyerahkan amplop. “
walaupun mahasiswa magang, tapi kamu sudah bekerja keras. Ini gaji selama tiga
bulan, jangan dibuka sekarang, saya khawatir kamu akan meminta tambahan pada
saya. Kamu kan tahu gaji pegawai puskesmas tidak seberapa.” Sekali lagi dia
tersenyum. aku berterima kasih, dan mengembalikan amplop itu padanya.
“Jangan begitu, kau akan membuat teman-teman kecewa, ini amanah
dari mereka.”
Aku turun di terminal, dia membawakan travel bagku. Baru sekarang
sangat baik. Begitu senang sudah tidak melihatku lagi?. Picik juga!
Dia mengulur tangannya menyalamiku. “selamat jalan.” Lalu pergi
begitu saja.
“Eeh dok…dokter!” panggilku, ingin mengucapkan terima kasih.
Tapi di berlalu tidak peduli. Dasar aneh!
---
Menuju perjalan yang baru lagi, Ahhh sampai dirumah..
“Ibu… ayah….!!” Teriakku senang, yah tapi orang pada nggak ada,
lagi dinas.
Pengin Mandi, dingin.Tapi yang sela ini, ee tempat mengapit termometer
sudah asem..hehe.. kalau begitu mendarat ke kamar mandi.
Udara kampungku tercium sangat khas, dengan nyamannya aku
merebah di kursi dekat jendela kamar, amplop segera ku buka. “satu juta!!!”
bagaimana harus mengedipkan mata, aku sangat kaget.”Ahlmadulillah….”.
Upsss!! Ada kertas yang jatuh. Aku memungutnya. Seperti sbuah
pesan singkat.
kamu benar,
karena rindu, saya tidak tahu harus bagaimana, makanya menjadi marah. Maaf.
Ran, terus terang saya ingin memintamu. Tapi jika sudah
memiliki orang lain. Kata-kata saya jangan menjadi beban buatmu..
Harry
Aku menjadi
bingung, bolak balik aku membaca kertas kecil itu, aku masih tak percaya. Aku sedang
dilamarkah? Dr. harry, si sentiment itu? tidak, tidak, tidak…tidak mungkin. Akhfffff
kenapa mesti si sentimen itu? tapi apa harus menolaknya, ini kan pertamakalinya
di lamar?
Perasaan ini
sangat membingungkan, senang atau tidak sih?. Ah, bicaraku sejauh ini, ke GR-an
banget, kenapa tidak dipastikan dulu?
Jam 8 malam, apa tidak apa-apa? ah aku akan menghubunginya.
“halo…halo…assalamu’alaikum? halo??” dia mengangkat telponnya,
aku harus bagaimana, mulai dari mana?.
“ee…” aku diam.
“Rana?” dia memanggil namaku santun. Kenapa jantungku berdegub
tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi denganku.
“walaikum salam, dok.”
“ada apa, ran?” tanyanya polos, seperti bukan dia yang menulis
itu. Apa memang bukan dia.
“tidak ada, maaf mengganggu.” Spontan aku matikan. Ahhhh… kenapa
aku tidak sopan?
Uppsss ada panggilan balik dari dia. Diangkat tidak? Ahhhhh
“ya ,dok?” aku menguasai diri.
“terdengar berpura-pura tidak gugup.” Ujarnya lagi-lagi datar,
tahu saja.”masih tak percaya saya yang
menulisnya?” tanyanya, kok dia tau semua?
“saya ingin tahu jawabanmu. Rana. Ran, kau punya laki-laki
lain?”
“tidak!”
“Terlalu tangkas Ran, Apa kau sedang merindukanku atau sedang
menerimaku?” tanyanya. Aku matikan ponselku, aku malu kenapa sikapku jadi
begini? Hei ini si sentimen itu bukan laki-laki yang ku idamkan. Dia tidak
menghubungi aku lagi, tapi aku menjadi gelisah.
Ran, kau marah?
Lupakan saja.
Pesan singkat sebelum mataku jatuh terkantuk. Aku pikir apalagi,
tidak ada yang ku tunggu. Selama ini yang menjadi masalah bukankah sentimennya saja?
Dan ….
Wisudaku bulan depan tgl 23 oktober. Senang jika dokter bisa
datang dan aku akan menjawab pertanyaan dokter.
Aku betul-betul sudah gila. Apa yang aku lakukan? Ingin coba-coba. Hal ini bukan untuk
dipermainkan.
---
Pintu auditorium sudah mau ditutup dia belum juga datang, dia
hanya mempermainkanku, masih sama piciknya. Aku tidak akan memaafkanmu.
Aku berjalan menuju parker mobil, orangtuaku sudah dari tadi
menunggu. Wajahku tebal make up dan tebal kesal. Untuk apa aku kesal bukankah
aku bilang ini percobaan? Kenapa aku meletakkan diri sendiri sebagai korban
permainan? Baru juga mulai, memalukan.
2 minggu berlalu
dr.Harry, tidak perlu memikirkannya lagi, aku ingin dengan
tenang ke Inggris, tidak mau menyiakan beasiswa transfer ini.
“Sarang hangdamyun….” Ost. Sad love song. Ponselku menari. Ibu
ade?
“berjanji memberi kabar kalau sudah lulus dengan baik, malah
ingkar. Menunggu orang tua juga yang tanya duluan.” Ujar ibu Ade kecewa. Aku minta
maaf atas kelalaianku, bukan sama sekali tidak ingat Ibu Ade tapi pikiran sudah
penuh dengan…
“dengan dr. Harry?” sela Bu Ade, sontak aku kaget, jadi Ibu Ade
tahu?
“Apa kau terlalu polos, nak? Bahkan semua sudah lama tahu, dr.
harry memperhatikanmu. Tapi, kami hanya menutup mulut dan mata, bukan urusan
kami.” Sambungnya. Aku hanya diam, membenarkan kata beliau, aku sangat polos
malahan.
“Nak, kau tidak banyak respon nampaknya. Ibu mengerti tidak
mudah membujuk perasaan untuk orang yang tidak diinginkan. Itu hakmu. Tapi,
saran Ibu sekali saja datanglah untuk dr. Harry. Kau belum pernah datang
bukan?”
“Maksud ibu?” aku belum paham, ibu Ade jadi bingung. Sangka
beliau aku sudah tahu. Ibu Ade menceritakan segala hal. Aku terpekur, dulu
begitu menyalahkannya. Tidak mau bertanya kenapa dia tidak datang, kemana dia selama
ini?
Sekarang aku dihadapannya. Aku, karena aku memintanya datang
hari itu, makanya dia harus terbaring disini. Menyelamatkan anak kecil yang
hampir mati dihantam bus, dia harus membayar dengan kehilangan rasa dikakinya
agar anak itu selamat? Ya Allah, dia lumpuh, apa tidak ada keringanan untuknya?
Dia tersenyum kecil, hatiku begitu sakit melihatnya sakit sekali. Aku terjatuh
lemah dalam tangisanku.
“Saya kelihatan sangat menyedihkan, Ran? Jangan menangis untuk
orang yang sering memarahimu. Ini akibat zalim padamu.” Ujarnya setengah
bercanda. pandangannya lurus, kepala tidak bisa di gerakan sesukanya, cervical
collar masih menjaga dengan ketat.
“Selamat Ran, maaf tidak datang hari itu dan menemui orang
tuamu. Yang pernah ku ucapkan lupakan saja.” Ucapnya ringan.
“apa dokter pikir, aku belum melupakannya?” tanyaku.
“benar, kenapa harus dipikirkan?.” Dia tersenyum lagi, membuatku
bertambah benci.
“Kau tahu aku menunggumu, sampai pintu gedung itu tertutup? Kau
tahu betapa berharapnya aku, kau akan datang mencariku? Sama sekali tidak ada
kabar, makanya melupakanmu. Sekarang, begitu ringan mengucapkan ‘lupakan saja’.
Makanya akan semakin melupakanmu.” Ucapku dengan setengah marah dan benciku.
Tiba-tiba aku sadar, aku memang…..
“Baguslah, lebih baik begitu.” Ujarnya lagi sambil tersenyum.
Air matanya bergulir, dengan hati-hati dia menghapusnya. Takut bergerak banyak.
“Yang baik, sembuhlah. Jangan menolak terapi itu, jadi
sembuhlah.” Ujarku, ini giliranku untuk membujuknya. Ibu ade dan teman-teman
sudah putus asa, begitu dengan orang tuanya, sama.
“Sembuh, hanya sebuah
kemungkinan. Jadi karena itu, kau datang hanya untuk membujukku, sungguh tidak
perlu!.” Ucapnya ketus, baru kelihatan bahwa dia dalam depresi yang berat.
“Bukankah mungkin itu sebuah peluang? Lakukanlah untukku, aku
akan menunggu dokter.” dia terperanjat, menatapku.
“Jika mungkin akan lama dan tidak banyak yang bisa kulakukan
dengan kaki ini, tidak akan seperti dulu.
Jadi tidak usah..”
“Aku bilang aku akan menunggumu, apa dokter tidak mengerti juga?
tidak inginkah dokter duduk bersimpuh membacakan ijab?” dia menatapku kembali.
Aku mengangguk, lakukanlah.
Dia menyetujuinya, akupun berjanji ikut melihat perkembangannya.
“Tidak, selama terapi kau tidak boleh mengunjungiku!”. Ucapnya,
aku mengernyitkan dahi. “pergilah ke Inggris.”
“Tidak! Aku tidak bisa meninggalkanmu.”
“Heii, jangan seperti orang bodoh! aku bukan suamimu. Jangan berkorban seperti itu. aku
mendengarmu dan kau harus mendengarkanku.” Bentaknya.
Aku mencoba meringankan hatiku, aku anggap saja ini syarat untuk
menerima mahar dari calon suamiku. Dengan begini aku bersemangat, waktu akan
berjalan dengan cepat!
“Ran…
Rana..!” ada yang memanggilku saat aku mendekati masuk di Green Channel. Rasyid, bukan hanya datang mengantarku, juga
memberikan kotak kecil.
Aku
membuka kotak kecil hitam di pesawat. Hatiku bergetar, sebuah cicin begitu
manis duduk di busa putih. Ada suratnya juga.
Seandainya aku datang hari itu, mungkin cincin ini sudah sampai pada
pemiliknya.
Pada gadis
yang mungkin sedang berdebar menungguku.
Ran,
dalam keadaan seperti ini, tidak tau kapan
aku bisa memasangkan langsung dijarimu
Jadi
simpanlah olehmu. Tapi jangan merasa terikat karenanya.
Bila
hatimu mengatakan tidak, kau bisa mengembalikannya padaku, kapanpun kau mau.
Kau
masih sangat muda, ambillah pilihan-pililahan terbaikmu.
Selamat
jalan Ran, berbaiklah disana.
Entah
kapan akan bertemu, pasti sangat merindukanmu.
Harry
“Hanya kau yang kusukai.” Gumamku. “Pasti akan sangat
merindukanmu.” Aku tersenyum sendiri.
2 Tahun berlalu, aku kembali.
Tidak
tau bagaimana kabar orang yang ku tuju, kami tidak pernah komunikasi selama aku
di inggris. Aku mulai mencemaskannya.apa dia berpaling dengan yang lain?
“Ran, ibu …” lamunanku buyar,
melihat kepanikan ayah menunjuk ke arah ibu yang sedang muntah- muntah,
wajahnya pucat. Gastritis ibu kambuh. Aku membawanya ke rumah sakit. Utunglah
sebatas di UGD. Rumah sakit ini banyak kemajuan, semakin tangkas menangani
pasien. Kebiasaan duduk-duduk menggosip sudah tidak adalagi. Aku mengambil obat
di basement dan menyelesaikan administrasi.
“Masih mau?” begitu terdengar
dari orang yang satu lift denganku, mungkin
sedang menelpon.
“Masih mau dengan dokter lulusan S1,
Ran?” Aku tersentak itu….laki-laki berkacamata, memakai jas putih, seorang dokter.
“Dokter??” aku tersenyum mendapati
harry dari tadi disampingku. Bagitu bahagia tidak bisa bilang apa-apa. Ya Allah
Harry sembuh.
“Aku pastikan dulu, aku isteri
pertama apa bukan?” candaku. Harry tertawa lepas.
Beberapa bulan kemudian
Aku sedang hamil, tambah berat kalau
Harry pulang dari kerja, pasti kepalanya menekur diatas balonku yang memasuki
minggu 20. Aku sangat bahagia.
Dan Sebenarnya Cinta itu, Rasanya Begini....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar